Fahri Bachmid, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, menanggapi soal batasan usia capres dan cawapres di Pilpres.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak soal batas usia capres dan cawapres tersebut.
Fahri Bachmid sebut, pada hakikatnya MK tidak berwenang menetapkan norma batas usia capres dan cawapres yang berhak maju di Pilpres, dengan mengacu pada tata norma hukum.
“Karena persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK telah meletakan kaidah ‘open legal policy’ merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden,” ujarnya, Minggu (15/10/2023).
Fahmi Bachmid menegaskan, pranata itu harus melalui proses legislation, wetgeving,.
Sehingga dengan demikian, persoalan tersebut harus diletakan pada konteks ‘statutory rules’ dan harus dikembalikan pada konteks itu.
MK menjadwalkan sidang pembacaan putusan perkara terkait usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), Senin (16/10/2023).
Meski demikian, kalaupun MK Konstitusi nantinya memutus perkara tersebut.
Fahri menerangkan sejumlah kemungkinan putusan yang akan diambil MK.
Fahri menyampaikan, jika mengacu pada ketentuan pasal 57 UU Nomor 24/2003 Tentang MK Konstitusi yang telah dirubah dengan UU RI 7/2020, serta Peraturan MK Konstitusi No. 2/2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian undang-undang, menurutnya ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara tersebut, di antaranya yaitu:
Satu, amar putusan untuk pengujian materiil, dalam hal permohonan dinyatakan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, ‘Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima’.
Kemungkinan kedua, dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, ‘Menolak permohonan Pemohon’.
Kemudian dalam hal pokok Permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan ‘Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya’.
Ketiga, dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah Mengabulkan permohonan Pemohon.
Terakhir, dalam hal dipandang perlu, MK dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Sementara, jika mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara batas usia selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan.
Pertama, MK dalam putusannya akan menurunkan batas usia capres/cawapres dari 40 menjadi 35 tahun.
“Kemungkinan kedua adalah tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus, yaitu pernah menjabat atau menjadi Kepala Daerah dengan segala konsekuensi konstitusionanya,” ucap Fahri.
Terkait hal itu, ia menjelaskan, dengan melihat pengalaman putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk MK pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), di mana permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan Nomor 112/PUU-XX/2022.
Amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, ‘Berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, ‘berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan’.
“Dengan demikian, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku,”
“Tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu,” jelas Fahri.
“Segala kemungkinan itu dapat saja terjadi, dan jika itu yang terjadi maka dinamika pada internal Hakim MK akan terbelah,”
“Pastinya ada sebagian Hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau ‘dissenting opinion’. Ini tentu merupakan produk analisis saya yang bisa saja terjadi atau tidak juga terjadi,” tuturnya.
Sebagai informasi, MK telah menjadwalkan sidang pembacaan putusan perkara batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, pada Senin, 16 Oktober 2023 mendatang.
Adapun perkara yang akan diputus, di antaranya Nomor 29/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Dedek Prayudi, yang merupakan pihak Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kedua, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Yohanna Murtika dan Ahmad Ridha Sabana.
Ketiga, Perkara 55/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Erman Safar dan Pandu Kesuma Dewangsa.
Keempat, Nomor Perkara 90/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Almas Tsaqibbirru Re A.
Kelima, Perkara 91/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Arkaan Wahyu Re A.
Keenam, Perkara 92/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Melisa Mylitiachristi Tarandung.
Terakhir, Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Fahri Bachmid Sebut MK Tidak Berwenang Urusi Batas Usia Capres Cawapres, Seharusnya DPR dan Presiden, https://wartakota.tribunnews.com/2023/10/16/fahri-bachmid-sebut-mk-tidak-berwenang-urusi-batas-usia-capres-cawapres-seharusnya-dpr-dan-presiden?page=2.